Inspirasi
datang saat gue terpikat pada lima jenis cokelat di atas bupet tivi. Lima jenis
cokelat ini tengah bertugas menjadi temen gue menunggu kedua pasangan tuan
rumah ini pulang. Kelima cokelat itu adalah cokelat besar berbentuk prisma
dengan campuran mete, cokelat ukuran mini membentuk dua bagian sisi dengan
wafer renyah di dalamnya, cokelat mini berbentuk payung dengan kemasan warna-warni
dan berbatang merah pastel, cokelat berbentuk persegi panjang dan pipih dengan
kemasan warna kuning kecoklatan dengan gambar-gambar kacang mete di kemasannya,
yang terakhir cokelat snack dengan ukuran yang sangat mini seperti kotoran
kecoa.
Cokelat.
Dia temen gue. Bukan hanya kali ini saja. Dia adalah temen sejati. Kalo dia habis,
pasti akan ada lagi. Kalo dia tidak ada pasti sepi. Selalu ada yang kurang. Tidak
ada rasa manis yang nyela rasa gurih, asin, sampe getir. Dia hafal jadwal
kehadirannya sendiri. Dan yang paling tepat ketika gue bener-bener
menginginkannya datang untuk nemenin gue, saat lagi nunggu kaya gini, atau saat
gue terhimpit tumpukan buku yang bikin mual perut sampe otak, atau ketika gue
pengen ngilangin rasa getir yang dikecap alat indra sampe terngiang dihati. Dia
ampuh untuk semua itu.
Cokelat.
Namanya selalu hadir begitu aja saat gue bener-bener menginginkannya ada. Kaya
sebuah mesin yang bekerja secara otomatis dia akan datang, .bekerja dengan
dibantu ptyalin dan menciptakan manis yang begitu hebat. Dari langit-langit
mulut sampe langit-langit hati akan berubah menjadi manis. Gue jadi tau, gusar
gue perlahan di gusur olehnya. Oleh si cokelat.
Gue
inget, di usia gue yang ke-lima, gue sering banget pergi ke warung kecil di
sebelah pangkas rambut deket rumah. Berbekal seribu rupiah, gue bawa pulang
satu cokelat berkemasan merah yang dibubuhi ayam jago disisi pojok depannya dan
lima cokelat berbentuk payung dengan ukuran sebesar jari kelingking. Pernah
sekali waktu dalam perjalanan ke warung itu, gue tersandung polisi tidur di
depan gue. Pas sampe rumah, gue abisin cokelat-cokelat itu sambil nangis, dan
tangis gue berenti di cokelat yang terakhir. Liat, cokelat bisa bikin tangis
gue berenti, kan?
Hari itu
gue berada di sebuah minimarket. Dan sebungkus cokelat-wafer yang membelah dua
sisi dengan kemasan berwarna merah berhasil gue dapetin. Setelah cokelat itu
resmi gue bayar di kasir, gue genggam dengan tangan kanan sambil berjalan
keluar pintu. Tepat di depan pintunya gue menunduk dan meletakkan cokelat itu
diatas sebuah tangan kecil yang mengadah, ‘dimakan ya, dik’. Gue tersenyum di
akhir ucapan itu. Gadis kecil itu tersenyum manis sekali, si manis si cokelat.
Liat, cokelat ngajarin gue untuk berbagi, berbagi bahagia dan senyuman.
Cokelat.
Beberapa hari lalu gue mulai jaga jarak dengan sahabat yang satu ini. Mengapa?
Soalnya seorang teman berkata bahwa cokelat itu adalah penyebab pegas pada
timbangan berat badan melesat cepat pas gue naik diatasnya. Katanya sahabat gue
ini juga penyebab timbulnya bintik-bintik merah di pipi dan dahi gue yang
identik dikenal sebagi musuh dari perempuan cantik dan laki-laki tampan. Gue
ngedenger perang sengit dalam hati. Suara pertama nentang keras ucapan itu.
Sahabat gue adalah sahabat terbaik dan ngajarin gue banyak hal. Suara yang lain
justru meng-iya kan ucapan itu. Sebelumnya ga satupun bintik merah hinggap di
pipi dan dahi gue seperti saat ini. Akhirnya gue bertanya pada sahabat gue ini.
Dia menjawab dengan amat bijak. Begini, “jangan salahkan diriku, sahabat. Dan
jangan salahkan dirimu yang tidak pernah mampu berpisah dariku. Tanpaku kamu
hambar, tanpaku kamu tidak punya teman yang menemanimu belajar sampai malam
untuk menghadapi ujian esok hari, tanpaku kamu tidak akan mampu menghilangkan
rasa getir baik dimulutmu sampai hatimu. Jerawatmu itu datang karena kamu
sedang jatuh cinta. Kamu mencintai seseorang. Dan siapakah yang menemanimu
mendengarkan lagu-lagu cinta untuk seseorang itu? Aku, bukan? Aku mengajarimu
jatuh cinta. Karena aku manis seperti indahnya cintamu padanya.” Gue hampir aja
nyampakin sahabat gue ini. Terus dia ngelanjutin “sekarang begini saja,
sahabatku. Aku tetap si cokelat. Tetap sahabatmu. Sampai kapanpun kamu tidak
akan pernah mampu merubah wujudku sampai rasaku. Akupun tidak akan pernah mampu
merubah arti diriku sendiri. Aku tidak pernah mampu berhenti menjadikanmu
sebagai sahabatku. Aku tetap sahabatmu. Kamu bisa mencariku kapan saja kamu
mau. Aku akan selalu ada, Sahabat. Kamu pun bisa jika sesekali melupakan
keberadaanku. Tak ingin hadirku dan tak pernah memanggilku sedikitpun. Aku
mengerti kamupun tidak ingin selalu menikmati manisnya hidup. Kamu ingin
perbedaan. Aku mengerti, sangat mengerti sahabatku. Semuanya ada padamu. Ada
atau tidaknya aku, juga tergantung padamu. Kamu hanya cukup mengingat, bahwa
aku tetap sahabatmu yang setia. Si cokelat yang mampu menunjukkan bahwa
sebenarnya hidupmu manis sepertiku. Bahkan akan lebih manis jika kamu tidak
pernah menangis. Aku sahabatmu yang setia”.
See,
sahabat gue, si cokelat, dia ngajarin gue arti setia. Dia ngajarin gue arti
cinta yang sejati. Dia nunjukin bahwa kasih itu tidak pernah menuntut untuk
selalu ada, tidak pernah menuntut untuk dinantikan saat menanti. Dia ngajarin
gimana cara untuk memberikan cinta. Gue jadi tau, bahwa ketika gue jatuh cinta,
gue tidak perlu sebuah balas. Cukup
hanya bikin dia tau kalo gue men-cintai-nya. Tidak perlu rayuan cinta untuk
bikin dia dateng. Cukup selalu ada saat dia inginkan kehadiran gue. Cukup
dengan memberi rasa manis, karna cinta tidak kenal pahit dan getir. Cukup
dengan membuka tangan lebar-lebar dan ngelapangin ruang hati. Karna jika nanti
dia tidak pernah hadir, tidak akan pernah ada rasa kehilangan karna hati gue tidak
pernah tertutup untuknya. Rasa hanya akan sampai di genggaman tangan yang
sebelumnya gue lebarkan. Dan apabila harapan terlalu menyakitkan, dengan mudah
rasa itu gue lepas dari genggaman, hati gue tetep kosong, hingga tidak akan
pernah ada luka yang ngebekas disana.