Powered By Blogger
Imamul Khair Hanifa
23412646

www.gunadarma.ac.id
http://23412646.student.gunadarma.ac.id
imam.hanifa [ @ ] student.gunadarma.ac.id

Friday, January 11, 2013

Elegy sepotong cokelat



Inspirasi datang saat gue terpikat pada lima jenis cokelat di atas bupet tivi. Lima jenis cokelat ini tengah bertugas menjadi temen gue menunggu kedua pasangan tuan rumah ini pulang. Kelima cokelat itu adalah cokelat besar berbentuk prisma dengan campuran mete, cokelat ukuran mini membentuk dua bagian sisi dengan wafer renyah di dalamnya, cokelat mini berbentuk payung dengan kemasan warna-warni dan berbatang merah pastel, cokelat berbentuk persegi panjang dan pipih dengan kemasan warna kuning kecoklatan dengan gambar-gambar kacang mete di kemasannya, yang terakhir cokelat snack dengan ukuran yang sangat mini seperti kotoran kecoa.
Cokelat. Dia temen gue. Bukan hanya kali ini saja. Dia adalah temen sejati. Kalo dia habis, pasti akan ada lagi. Kalo dia tidak ada pasti sepi. Selalu ada yang kurang. Tidak ada rasa manis yang nyela rasa gurih, asin, sampe getir. Dia hafal jadwal kehadirannya sendiri. Dan yang paling tepat ketika gue bener-bener menginginkannya datang untuk nemenin gue, saat lagi nunggu kaya gini, atau saat gue terhimpit tumpukan buku yang bikin mual perut sampe otak, atau ketika gue pengen ngilangin rasa getir yang dikecap alat indra sampe terngiang dihati. Dia ampuh untuk semua itu.
Cokelat. Namanya selalu hadir begitu aja saat gue bener-bener menginginkannya ada. Kaya sebuah mesin yang bekerja secara otomatis dia akan datang, .bekerja dengan dibantu ptyalin dan menciptakan manis yang begitu hebat. Dari langit-langit mulut sampe langit-langit hati akan berubah menjadi manis. Gue jadi tau, gusar gue perlahan di gusur olehnya. Oleh si cokelat.
Gue inget, di usia gue yang ke-lima, gue sering banget pergi ke warung kecil di sebelah pangkas rambut deket rumah. Berbekal seribu rupiah, gue bawa pulang satu cokelat berkemasan merah yang dibubuhi ayam jago disisi pojok depannya dan lima cokelat berbentuk payung dengan ukuran sebesar jari kelingking. Pernah sekali waktu dalam perjalanan ke warung itu, gue tersandung polisi tidur di depan gue. Pas sampe rumah, gue abisin cokelat-cokelat itu sambil nangis, dan tangis gue berenti di cokelat yang terakhir. Liat, cokelat bisa bikin tangis gue berenti, kan?
Hari itu gue berada di sebuah minimarket. Dan sebungkus cokelat-wafer yang membelah dua sisi dengan kemasan berwarna merah berhasil gue dapetin. Setelah cokelat itu resmi gue bayar di kasir, gue genggam dengan tangan kanan sambil berjalan keluar pintu. Tepat di depan pintunya gue menunduk dan meletakkan cokelat itu diatas sebuah tangan kecil yang mengadah, ‘dimakan ya, dik’. Gue tersenyum di akhir ucapan itu. Gadis kecil itu tersenyum manis sekali, si manis si cokelat. Liat, cokelat ngajarin gue untuk berbagi, berbagi bahagia dan senyuman.
Cokelat. Beberapa hari lalu gue mulai jaga jarak dengan sahabat yang satu ini. Mengapa? Soalnya seorang teman berkata bahwa cokelat itu adalah penyebab pegas pada timbangan berat badan melesat cepat pas gue naik diatasnya. Katanya sahabat gue ini juga penyebab timbulnya bintik-bintik merah di pipi dan dahi gue yang identik dikenal sebagi musuh dari perempuan cantik dan laki-laki tampan. Gue ngedenger perang sengit dalam hati. Suara pertama nentang keras ucapan itu. Sahabat gue adalah sahabat terbaik dan ngajarin gue banyak hal. Suara yang lain justru meng-iya kan ucapan itu. Sebelumnya ga satupun bintik merah hinggap di pipi dan dahi gue seperti saat ini. Akhirnya gue bertanya pada sahabat gue ini. Dia menjawab dengan amat bijak. Begini, “jangan salahkan diriku, sahabat. Dan jangan salahkan dirimu yang tidak pernah mampu berpisah dariku. Tanpaku kamu hambar, tanpaku kamu tidak punya teman yang menemanimu belajar sampai malam untuk menghadapi ujian esok hari, tanpaku kamu tidak akan mampu menghilangkan rasa getir baik dimulutmu sampai hatimu. Jerawatmu itu datang karena kamu sedang jatuh cinta. Kamu mencintai seseorang. Dan siapakah yang menemanimu mendengarkan lagu-lagu cinta untuk seseorang itu? Aku, bukan? Aku mengajarimu jatuh cinta. Karena aku manis seperti indahnya cintamu padanya.” Gue hampir aja nyampakin sahabat gue ini. Terus dia ngelanjutin “sekarang begini saja, sahabatku. Aku tetap si cokelat. Tetap sahabatmu. Sampai kapanpun kamu tidak akan pernah mampu merubah wujudku sampai rasaku. Akupun tidak akan pernah mampu merubah arti diriku sendiri. Aku tidak pernah mampu berhenti menjadikanmu sebagai sahabatku. Aku tetap sahabatmu. Kamu bisa mencariku kapan saja kamu mau. Aku akan selalu ada, Sahabat. Kamu pun bisa jika sesekali melupakan keberadaanku. Tak ingin hadirku dan tak pernah memanggilku sedikitpun. Aku mengerti kamupun tidak ingin selalu menikmati manisnya hidup. Kamu ingin perbedaan. Aku mengerti, sangat mengerti sahabatku. Semuanya ada padamu. Ada atau tidaknya aku, juga tergantung padamu. Kamu hanya cukup mengingat, bahwa aku tetap sahabatmu yang setia. Si cokelat yang mampu menunjukkan bahwa sebenarnya hidupmu manis sepertiku. Bahkan akan lebih manis jika kamu tidak pernah menangis. Aku sahabatmu yang setia”.
See, sahabat gue, si cokelat, dia ngajarin gue arti setia. Dia ngajarin gue arti cinta yang sejati. Dia nunjukin bahwa kasih itu tidak pernah menuntut untuk selalu ada, tidak pernah menuntut untuk dinantikan saat menanti. Dia ngajarin gimana cara untuk memberikan cinta. Gue jadi tau, bahwa ketika gue jatuh cinta, gue  tidak perlu sebuah balas. Cukup hanya bikin dia tau kalo gue men-cintai-nya. Tidak perlu rayuan cinta untuk bikin dia dateng. Cukup selalu ada saat dia inginkan kehadiran gue. Cukup dengan memberi rasa manis, karna cinta tidak kenal pahit dan getir. Cukup dengan membuka tangan lebar-lebar dan ngelapangin ruang hati. Karna jika nanti dia tidak pernah hadir, tidak akan pernah ada rasa kehilangan karna hati gue tidak pernah tertutup untuknya. Rasa hanya akan sampai di genggaman tangan yang sebelumnya gue lebarkan. Dan apabila harapan terlalu menyakitkan, dengan mudah rasa itu gue lepas dari genggaman, hati gue tetep kosong, hingga tidak akan pernah ada luka yang ngebekas disana.

Inilah si cokelat, yang bikin gue ngerti bahwa hidup gue teramat manis kalo gue engga menangis J

No comments:

Post a Comment